Seminar Alumni "Soekarno : Dari Masa Pendudukan Jepang hingga Supersemar"
Ditulis : Fileksius Gulo Muda bergelora, Cerdas, peduli, dan berani Tulus bergerak membangun asa bangsa, ...
http://pendidikansejarahusd.blogspot.com/2016/03/seminar-alumni-soekarno-dari-masa.html
Ditulis : Fileksius
Gulo
Muda bergelora,
Cerdas, peduli, dan
berani
Tulus bergerak
membangun asa bangsa,
………
Ia terhukum di jalan yang benar.
Penggalan sajak karya Dr. Anton Haryono diatas adalah
ungkapan magis mengenai salah seorang founding
father bangsa ini. Representatif itu
terlihat dari sosoknya yang dibenci tapi dirindukan, ia hujat tetapi dipuja,
karakternya pernah dikubur dalam sejarah, tapi semangatnya hidup menyulu
negeri. Sosok itu adalah Soekarno. Dunia mengenalnya karena revolusinya, sebab
revolusi telah memakan anaknya.
Soekarno: dari pendudukan Jepang hingga Supersemar,
adalah seminar yang diselenggarakan oleh Program Sudi Pendidikan Sejarah FKIP
bekerjasama dengan Pusat Kajian Demokrasi dan HAM Universitas Sanata Dharma. Seminar
tersebut dilaksanakan pada Jumat (11/3) di Aula Lembaga Studi Realino, Kampus
II Mrican, Gejayan, Caturtunggal. Peringatan 50 tahun Supersemar itu menghadirkkan
2 (dua) pembicara yaitu sejarawan Peter Kasenda dan sejarawan Dr. Anton
Haryono, M.Hum.
Soekarno Penyambung Lidah Jepang?
Materi ini
dipaparkan langsung oleh penulis buku Soekarno
Dibawah Bendera Jepang (1942-1945), sejarawan Peter Kasenda. Kejelian
pemaparannya menggugah kilas balik sejarah apakah Soekarno disebut sebagai
penyambung lidah “Jepang” atau penyambung lidah “rakyat”?
Masa pendudukan fasis Jepang yang hanya berbilang tahun
lebih terasa menyakitkan daripada masa pendudukan kolonial Belanda yang
berbilang abad. Pada tanggal 8 Maret 1942,
Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Jendral Ter Poorten menyerah tanpa
syarat kepada Jendral Hitoshi
Immamura. Degan demikian berakhirlah masa penjajahan Belanda di
Indonesia. Pada masa pendudukannya, Jepang berusaha menarik simpati
rakyat Indonesia yaitu dengan cara: Mengijinkan mengibarkan bendera Merah Putih;
Mengijinkan menggunakan bahasa Indonesia; dan Mengijinkan menyanyikan lagu
Indonesia Raya.
Tentu
saja hal itu membuat hati rakyat Indonesia bahagia, karena mereka menganggap
bahwa kedatangan bangsa Jepang dapat membebaskan belenggu dari penjajah
Belanda. Untuk memikat hati rakyat, Jepang membuat propaganda Tiga A, yang
berisi: Jepang pemimpin Asia; Jepang pelindung Asia; dan Jepang cahaya Asia.
Dukungan rakyat terhadap Jepang memang
tidak seperti awal kedatangannya. Hal ini sangat mungkin juga karena sikap dan
tindakan Jepang yang berubah. Seperti telah disinggung di depan, Jepang mulai
melarang pengibaran bendera Merah Putih dan yang boleh dikibarkan hanya bendera
Hinomaru serta mengganti Lagu Indonesia Raya dengan lagu Kimigayo. Masyarakat
mulai tidak simpati terhadap Jepang.“Saudara tua” tidak seperti yang mereka
janjikan. Sementara perkembangan Perang Asia Timur Raya mulai tidak
menggembirakan. Kekalahan Jepang di berbagai medan pertempuran telah
menimbulkan rasa tidak percaya dari rakyat.
Terdesak
dari kondisi itu, Jepang segera berusaha memulihkan keadaan. Jepang harus dapat
bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasionalis terkemuka, antara lain Sukarno dan
Moh. Hatta. Karena Sukarno masih ditahan di Padang oleh pemerintah Hindia
Belanda, maka segera dibebaskan oleh Jepang. Tanggal 9 Juli 1942 Sukarno sudah
berada di Jakarta dan bergabung dengan Moh. Hatta.
Jepang berusaha untuk menggerakkan
seluruh rakyat melalui tokoh-tokoh nasionalis. Jepang ingin membentuk
organisasi massa yang dapat bekerja untuk menggerakkan rakyat. Bulan Desember
1942 dibentuk panitia persiapan untuk membentuk sebuah organisasi massa. Kemudian
Sukarno, Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara dipercaya untuk
membentuk gerakan baru. Gerakan itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
dibentuk tanggal 16 April 1943. Mereka kemudian disebut sebagai empat
serangkai. Sebagai ketua panitia adalah Sukarno. Tujuan Putera adalah untuk
membangun dan menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah dihancurkan oleh
Belanda. Menurut Jepang, Putera bertugas untuk memusatkan segala potensi
masyarakat Indonesia guna membantu Jepang dalam perang. Di samping tugas di
bidang propaganda, Putera juga bertugas memperbaiki bidang sosial ekonomi.
Jepang benar-benar terancam dalam
perangnya melawan sekutu. Untuk semakin menarik simpati bangsa Indonesia agar
tetap mendukung Jepang, maka pada tanggal 1 Maret 1945, Kumaikici Harada
mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Dalam bahasa Jepang BPUPKI disebut Dokuritsu Junbi Cosakai. BPUPKI beranggotakan 60 orang, ditambah
beberapa pimpinan. Sebagai ketua adalah Dr. Rajiman Widyodiningrat. Wakil-wakil
ketua, yakni Icibangase yang sekaligus sebagai kepala Badan Perundingan dan RP.
Suroso yang sekaligus sebagai kepala sekretariat. Sebagai kepala sekretariat,
RP. Suroso dibantu oleh Toyohito Masuda dan Mr. AG. Pringgodigdo. BPUPKI pada
tanggal 28 Mei 1945 diresmikan.
Pada kesempatan persemian ini dilakukan
pengibaran bendera Hinomaru disusul pengibaran bendera Merah Putih. Hal ini
semakin membangkitkan semangat para anggota BPUPKI dalam mempersiapkan upaya
Indonesia merdeka. Yang sangat menarik, sejak itu lagu Indonesia Raya boleh
dinyanyikan dan Sang Merah Putih boleh dikibarkan. Maksud dan tujuan
dibentuknya BPUPKI adalah untuk mempelajari dan menyelidiki halhal yang
berkaitan dengan pembentukan negara Indonesia. Jika suatu saat kelak meneguhkan
kemerdekaannya, maka bangsa Indonesia sudah harus memiliki dasar negara. Oleh
karena itu, BPUPKI merumuskan dasar negara.
Sebagai realisasi
pelaksanaan tugas, BPUPKI kemudian mengadakan siding-sidang. Secara garis
besar sidang-sidang BPUPKI itu terbagi menjadi dua kali sidang. Sidang BPUPKI I
diadakan pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945. Kemudian Sidang BPUPKI II
dilangsungkan pada tanggal 10 - 17 Juli 1945. Sidang-sidang BPUPKI itu untuk
merumuskan Undang-Undang Dasar. Sidang pertama membahas bagi negara Indonesia
merdeka. Waktu itu KRT. Rajiman Widyodiningrat meminta pandangan dari para
anggota mengenai dasar negara baru yang akan dibentuk. Untuk itu, tampil
beberapa tokoh untuk berpidato menyampaikan pandangannya. Dari sekian banyak pembicara,
ada tiga tokoh yang paling dipertimbangkan pandangan-pandangannya. Mereka
adalah Mr. Moh Yamin, Mr. Supomo, dan Ir. Soekarno.
Tanggal 1 Juni 1945
merupakan hari terakhir dari rangkaian Sidang BPUPKI I. Dalam pidato itu yang
istimewa ia mengajukan usul nama, lima asas yang disebut dengan Pancasila.
Pidato Ir. Soekarno tanggal I Juni 1945 sering disebut dengan pidato lahirnya
Pancasila.
Tokoh-tokoh intelektual
Indonesia ini memanfaatkan organisasi tersebut untuk menggembleng mental dan
membangkitkan semangat nasionalisme, menumbuhkan rasa percaya diri, serta harga
diri sebagai bangsa. Pada saat penggemblengan itulah Ir. Soekarno selalu
menyisipkan penanaman jiwa dan semangat nasionalisme, pentingnya
persatuan dan kesatuan serta keberanian berjuang dengan risiko apapun untuk
menuju Indonesia merdeka. Indonesia memanfaatkan organisasi ini untuk memupuk
rasa persatuan dan kesatuan, maka jelas bahwa rakyat Indonesia tidak bodoh
untuk dibohongi oleh Jepang.
Terhukum Di Jalan Yang Benar
Materi
ini disajikan dalam bentuk sajak-sajak sejarah. Dipaparkan dan dilakonlan
secara langsung oleh pematerinya, sejarawan Dr. Anton Haryono, M.Hum.
Si Bung Melawan Si Kolim
Muda bergelora
Cerdas, peduli, dan berani
Tulus bergerak membangun asa bangsa
Keangkuhan, penindasan, dan
perampokan bukan untuk dibiarkan
Rakyat melarat, diperbudak dinegeri
sendiri, bukan untuk durata[pi, tetapi disikapi
Muda bergelora
Cerdas, peduli, dan berani
Lantang menyuarakan pembebasan
Tidak jera merajut persatuan
Garang melawan raksasa penjarah
kekayaan dan kebebabsan
Kemerdekaan harga mati, tidak ada
kata kompromi
Berapa pun harganya siap dibayar
tunai
Jeruji besi, pembuangan, dan
pengansingan dijalani
Si Kolim (kolonialisme-imperialisme)
taku mati
Si Bung tidak hanya menakut-nakuti, tetapi
melawan aar mati
Si Bung mebayara harga dari mimpi
besar kebangsannya
Hidu penuh asa dan doa dalam
kesunyian terpencil
Si Bung Salah Dimengerti
Muda berelora, mana pedulimu, mana
nyalimu
Mengapa berkolaborasi dengan bangsa
yang biasanya mengumbar janji
Mengapa kamu menjadi bagian dari
mesin mobilisasi dan eksploitasi sumber daya
Mana perikemanusiaanmu, mana
kejuanganmu?
Tudingan-tudingan mengarah kepadanya
Terhadap apa yang ditempuh pada
zaman kathok klambi karung goni
Zaman kejam para tentara dari negeri
matahari
Narasi-narasi dikemudian hari, bukan
memuji, tetapi menghakimi
Menghukum dengan kata-kata
Kata-kata colonial, feudal, sarat
kepentingan politik global
Sejatinya sama sekali bukan
kolaborasi takluk tunduk perhambaan purba buta
Cita-cita pemerdekaan bansa yan
menyetirnya
Muda bergelora tetap pada komitmen
awalnya
Terbitnya bangsa baru yang merdeka,
terbebas dari raksasa haus kuasa Si Kolim
Indonesia merdeka senantiasa
digelorakan
Semangat revoluioner kaum muda
berhasil menangkap kharismanya
Ia pun mengakomodasi apa mau mereka
Siasaatnya jitu, hasilnya tergelar
di Pengangsaan Timur
Ini bukan reaksi spontan
memanfaatkan vakum kekuasaan
Indonesia merdeka telah
dipersiapkan, segalah sesuatu yang telah dipikirkan
Nilai-nilai kearifan local digali, ditemukan,
dan dirumuskan
Dirancang sebagai fondasi bagi
bangunan negara-bangsa yang hendak didirikan
Bila narasi-narasi di keudian hari
tidak berpihak kepadanya
Hakikatnya, ia terhukum dijalan yang
benar
Si Bung Konsisten, Jatuh, dan Terhukum
Kemerdekaan harus diwujudkan
Bagi Si Bung kedaultan tidak bias
ditawar-tawar
Meski sudah merdeka, ia tetap
lantang dan garang menantang
Terhadap Si Kolim baju baru, Nekolim
Bangsa-bangsa baru senasib
dipersatukan dalam sebuah gerakan
Membidik raksasa yang berbahaya,
prahara mengemuka
Perselisihan dan pertikaian antar
sesame anak bangsa terjadi
Cita-cita negara kesejahteraan
tersumbat perwujudannya
Serangkaian nasionalisasi dilakukan
Nekolim berang dan menggempar lapar
siap memangsa bila waktunya tiba
Ketidaksepahaman internal makin
terprovikasi
Oleh tabiat lapar persekutuan para
raksasa
Kedaulatan tidak bias ditawar-tawar
Si Bung tetap konsisten pada
pendiriannya
Tidak memberi keleluasaan bergerak
Si Nekolim
Si Nekolim tidak tinggal diam,
apalagi perang bratayuda harus dimenangkan
Prahara politik berubah menjadi
tragedy kemanusiaan
Si Bung jatuh, orde kekuasaan
berganti
Si Nekolim dan kaki tangannya pesta
pora, investasi asing merajalela
Penjarahan kian masif dan
sistematis, tergawangi kuasa tengan besi
Kedaulatan rakyat tidak lebih dari
sekedar permainan manipulatif penguasa
Narasi-narasi sejarah diproduksi
berkarakter babad
Menyanjungtinggikan “Sang Raja”,
Ndoro Tuan, dengan segala daya upaya
Si Bung tidak hanya jatuh, Si Bung
“terhukum” dalam sejarah
Tetapi Si Bung berada di jalan yang
benar
Jalan hidup suatu bangsa yang harus
berdaulat
Kebenaran Sejarah
Satu persitiwa banyak kisah, itulah
sejarah
Beda sudut pandang, beda tafsir,
beda kisah sangatlah lumrah
Tidak perlu dirisaukan, tetapi amat
sangat perlu disadari
Penguasa memanipulasi sejarah pun
telah berlangsung sejak zaman bahuela
Membuka diri terhadap narasi-narasi
alternatif perlu ditempuh
Eranya era reformasi, era
keterbukaan
Makin dipaksakan, makin mendesak
untuk dikritisi
Menerima begitu saja sama artinya tidak
belajar
Masa lalu telah lewat, yang hadir
kembali adalah tafsirnya
Tafsir yang seringkali bertolak dari
hajat kuasa tuan pemesannya
Belajar sejarah, membuka cakrawala
Bukan memasung diri dalam narasi
paksa pemilik kuasa
Belajar sejarah, belajar mendewasa
Membuka diri terhadap berbagai
narasi tandingan
Banyak karya baru seputar tragedy
1965 yang menggugah
Karya John Roosa, Baskara T.
Wardaya, Asvi Warman Adam,
M.R. Siregar, A. Pambudi, dan Aiko Kurasawa.
M.R. Siregar, A. Pambudi, dan Aiko Kurasawa.
Polemik Supersemar
Polemik Surat Perintah 11 Maret 1966
sudah memasuki usia emas, 50 tahun sejak dikeluarkan.Namun, hingga saat ini
kabut misteri mengenai surat yang dianggap menjadi penanda berakhirnya
kekuasaan Presiden Soekarno yang dilanjutkan oleh Soeharto itu belum juga
surut. Perdebatan berawal dari eksistensi atau keberadaan Supersemar yang
dicurigai tidak pernah ada. Akan tetapi, keraguan mengenai keberadaan
Supersemar itu dianggap sirna setelah munculnya jawaban dari Presiden Soekarno.
Dalam pidato yang disampaikan pada
peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyebut
mengenai Supersemar, yang juga jadi bukti keberadaannya. Akan tetapi, Soekarno
membantah telah memberikan surat kuasa untuk transfer kekuasaan kepada Letjen
Soeharto yang ketika itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.
"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer
of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul
"Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan
sebutan "Jasmerah". Soekarno kemudian memberikan penjelasan mengenai
alasan dikeluarkannya Supersemar. Menurut Soekarno, Supersemar tak lain sebagai
perintah untuk menjaga stabilitas keamanan. Sejak peristiwa Gerakan 30
September 1965, situasi politik di Indonesia bisa dibilang genting. Sejumlah
aksi kekerasan di berbagai wilayah sudah terjadi, dengan menjadikan anggota
atau simpatisan Partai Komunis Indonesia dan kelompok underbouw-nya
sebagai sasaran.
Sejarawan Asvi Warman Adam menambahkan,
situasi politik di Jakarta, terutama di sekitar Istana Kepresidenan, pada 11
Maret 1966 memicu puncak ketegangan di lingkar kekuasaan. Sejumlah pasukan
tentara tidak dikenal diketahui mengepung Istana Kepresidenan, yang belakangan
diketahui merupakan pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris. Komandan Tjakrabirawa
Brigjen Sabur melaporkan soal tentara tidak dikenal itu kepada Presiden
Soekarno. Atas laporan itu, Soekarno yang saat itu memimpin sidang kabinet lalu
menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena.
Soekarno lalu memutuskan untuk terbang ke Bogor dengan helikopter.
"Jika kondisinya masih normal,
Bung Karno akan tetap di Istana Negara. Artinya, kondisi pada saat itu sudah
sangat meruncing dan panas," ujar Asvi Warman Adam. Melihat rawannya
situasi saat itu, penjelasan Soekarno mengenai Supersemar itu pun memiliki
konteks yang bisa dipahami. Surat Perintah itu ditulis Soekarno untuk menjamin
keselamatan dirinya, juga keluarga. "Itu juga perintah pengamanan pribadi
presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran
presiden, perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah
melaksanakan perintah itu dengan baik," ujar Soekarno dalam
"Jasmerah".
Sejarawan Asvi Warman Adam menilai
perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Menpangad Letjen
Soeharto. Penafsiran yang berbeda itu pertama kali diimplementasikan saat
Soeharto membuat Surat Kebijakan Nomor 1/3/1966 atas nama Presiden Soekarno,
untuk membubarkan PKI. Soeharto dianggap keliru dalam menafsirkan kata
"mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi".
"Itu yang dijadikan dasar untuk
pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu," tutur Asvi. Soekarno, dalam
penuturan Asvi, marah terhadap keputusan Soeharto. Surat keputusan untuk
membubarkan PKI diminta Soekarno untuk segera dicabut. Namun, Soeharto menolak.
Di titik inilah dugaan Supersemar menjadi "alat kudeta" muncul. "Soekarno
melihat kekeliruan di situ, tapi Soeharto tetap melanjutkan yang
dilakukannya," lanjut Asvi.
Tidak hanya marah, Soekarno kemudian
membuat surat perintah baru yang menyatakan Supersemar itu tidak sah. Surat
perintah itu dibuat pada 13 Maret 1966, yang dikenal dengan sebutan Supertasmar. Keberadaan mengenai Supertasmar itu terungkap di biografi
AM Hanafi, mantan Duta Besar di Kuba, yang berjudul Menggugat Kudeta
Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998). AM Hanafi
menjelaskan, Supertasmar itu mengumumkan bahwa Supersemar bersifat
administratif/teknis, dan tidak politik. Soeharto juga diminta tidak melampaui
wewenangnya dan memberi laporan ke presiden.
"Hanafi disuruh untuk menghubungi
beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar. Tapi dia tidak
punya jalur lagi," tutur Asvi. Hanafi sempat menghubungi mantan Panglima
Angkatan Udara Suryadharma. Namun, Suryadharma mengaku tidak lagi punya saluran
untuk menyebarkan surat perintah baru dari Presiden Soekarno itu. "Pers
pun tidak mau memberitakan," tutur Asvi Warman. Hingga saat ini,
keberadaan Supertasmar pun tidak jelas. Kepala Arsip Nasional RI Mustari Irawan
juga mengakui lembaganya tidak memiliki naskah atau salinan mengenai
Supertasmar itu.
Perbedaan pandangan ini kemudian
menjadi dasar yang menyebut bahwa Presiden Soekarno menerbitkan Supersemar
bukan atas kehendaknya. Selama ini memang ada sejumlah kabar yang menyebut
Soekarno berada dalam tekanan saat menyerahkan Supersemar kepada Letjen
Soeharto, melalui tiga jenderal yang menjadi utusan. Adapun tiga jenderal itu
adalah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud. Versi
lain menyebut kehadiran jenderal keempat, Mayjen Maraden Panggabean. Versi
kehadiran Maraden Panggabean itu diungkap mantan penjaga keamanan Istana Bogor,
Sukarjo Wilardjito.
Menurut mantan Kepala Arsip Nasional
RI, M Asichin, dalam wawancara kepada Arsip Nasional RI pada 2005, Sukarjo
bahkan mengaku menyaksikan penodongan kepada Soekarno oleh Panggabean. Asvi
Warman Adam meragukan kebenaran cerita Sukarjo. Menurut dia, yang bisa mendekat
ke ring 1 Presiden Soekarno bukan orang sembarangan. "Tidak mungkin juga
ada jendral yang berani menodong Soekarno. Saya juga tidak yakin Panggabean itu
berani," ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut. Istilah
dipaksa dianggap Asvi tidak tepat. Soekarno dianggap lebih tepat disebut berada
dalam tekanan.
"Tidak hanya oleh tiga orang
jendral, tapi oleh serangkaian kejadian dan peristiwa yang menyebabkan Soekarno
tidak punya pilihan lain selain Soeharto," ucapnya. Asvi Warman Adam
memiliki istilah sendiri untuk situasi itu: Kudeta merangkak. Soeharto sendiri
sudah membantah mengenai tuduhan kudeta. Dikutip dari arsip Harian Kompas,
Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya
digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan".
"Saya, kata Presiden Soeharto,
tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh
kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk
mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan
11 Maret 1971.
Penutup
Dia-Soekarno-mempersatukan dan
memerdekakan negerinya. Dia membebaskan rakyat dari rasa rendah diri dan
membuat mereka merasa bangga dan terhormat menjadi orang Indonesia, menjadi
satu nasion yang memiliki republik Indonesia dalam pergaulan masyarakat dunia.
Semua ini terjadi sesudah 350 tahun kolonialisme Belanda dan 3,5 tahun
pendudukan fascisme Jepang dalam Perang Dunia ke-II. Apa yang dia kerjakan pada
17 Agustus 1945 sebenarnya adalah tepat sama dengan apa yang dilakukan Thomas
Jefferson bagi negeri dan bangsa Amerika pada 4 Juli 1776. Dia menjadi
satu-satunya politikus dan negarawan dalam sejarah politik modern umat manusia
yang mempersatukan negeri dan bangsanya tanpa meneteskan setitik darah pun.
Bandingkan dengan Jendral Suharto yang membantai dan memenjarakan dua juta
orang lebih hanya untuk menegakkan rezim yang dia namakan Orde Baru.
Kampanye fitnah pada awalnya dimulai
dengan menuduh Sukarno sebagai kolaborator militerisme Jepang, kemudian dia
menjadi diktator dengan konsep demokrasi terpimpinnya, selanjutnya dia
kejangkitan megalomania yang mau membangun dunia baru dengan distribusi
kemakmuran yang lebih adil, padahal ekonomi negerinya sendiri -begitu katanya- tak
diurus sehingga membikin rakyatnya melarat. Apakah itu benar? Mari kita tanya
pada sejarah.
Bung karno, begitulah paling senang dia
dipanggil, telah memberikan semua bagi negerinya: kedudukan, karier politik
sampai bahkan nyawanya demi persatuan, kesatuan dan perdamaian bangsanya.
Itulah puncak-puncak kebenaran Sukarno yang untuk selama-lamanya tak pernah
akan hapus, betapa pun bahaya desintegrasi dewasa ini mengancam Indonesia
akibat warisan politik jendral Suharto. Tetapi berbeda dari pemimpin
kebangkitan nasion Amerika itu, Pejuang kemerdekaan dan martabat manusia
Indonesia ini tidak mendapat perlakuan adil dari sejarah sebagaimana patut dia
terima dan semestinya dia diperlakukan.