Melestarikan Bahasa Bagongan
Oleh : Rika Anggoro Prasetiya Dimuat dalam Harian Bernas 26 Maret 2016 Bahasa merupakan alat komunikasi dalam pergaulan sehari-...
http://pendidikansejarahusd.blogspot.com/2016/04/melestarikan-bahasa-bagongan.html
Oleh : Rika Anggoro Prasetiya
Dimuat dalam Harian Bernas 26 Maret 2016
Bahasa merupakan alat komunikasi dalam pergaulan sehari-hari. Ketika seseorang
berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah tata
bahasa, juga masih harus memperhatikan siapa orang yang diajak
berbicara. Berbicara kepada orang tua berbeda dengan berbicara kepada anak
kecil atau yang seumur. Maka bahasa memiliki sistem tata krama yang
dipergunakan untuk berkomunikasi kepada orang lain (Antunsuhono,
1952). Bahasa Jawa sebagai bahasa tradisional merupakan bahasa sehari – hari yang dipergunakan oleh masyarakat jawa. Penggunaan Bahasa Jawa terbagi menjadi tingkatan – tingkatan
sesuai dengan lawan yang diajak bicara. Tingkatan tersebut dalam Bahasa Jawa
disebut unggah – ungguhing basa atau
dalam Bahasa Indonesia berarti tingkat kesopanan bahasa. Unggah-ungguhing bahasa Jawa pada dasarnya dibagi menjadi tiga: Bahasa Ngoko, Bahasa Madya,
dan Bahasa Krama. (Purwadi, 2005). Selain yang disebut di atas masyrakat Jawa khususnya orang-orang di
karaton
menggunakan bahasa komunikasi Bahasa Bagongan. Bahasa bagongan
dikomunikasi khusus
hanya dilakukan oleh sekelompok
tertentu, tingkatan tertentu, dan pada waktu
tertentu di lingkungan
karaton (Murcahyanto,2008).
Bahasa
Bagongan merupakan cabang Bahasa Jawa yang hanya lazim
dipakai di lingkungan Karaton Mataram. Pada awalnya bahasa ini
mulai dikembangkan pada zaman pemerintahan Sultan
Agung dengan tujuan untuk menghilangkan kesenjangan di antara para pejabat
istana dan keluarga raja. Pada saat ini pemakaian bahasa Bagongan sudah semakin
berkurang, bahkan nyaris punah. Pemakainya pun hanya dari golongan tua saja
yang mengenal adanya jenis bahasa tersebut. Bahasa Bagongan digunakan oleh
para pejabat istana, atau yang biasa disebut sentana dalem dan abdi
dalem untuk
bercakap-cakap satu sama lain. Tidak seperti Bahasa Jawa pada umumnya, bahasa
ini relatif kurang mementingkan hierarki sehingga terkesan lebih fleksibel (Kridaklaksana, 2008).
Bahasa Bagongan di Karaton Yogyakarta keberadaannya sangat khas karena terbatasnya kosa
kata, penutur, dan wilayah penuturannya. Kosa kata bahasa Bagongan berjumlah
11, penuturnya adalah raja, putra raja, kerabat raja, dan abdi dalem, sedang
penggunaannya hanya di dalam keraton saja (Ratri,2011). Sebelas kata tersebut antara lain: saya: manira, anda:
pakenira, ya: enggih, tidak: mboya, bukan: seyos, saja:
mbesaos, ini: puniki, itu: puniku, apa: punapa, ada:
wenten, mari: nedha. (Kridaklaksana,
2008). Dari penjelasan tentang bahasa bagongan tersebut dapat disimpulkan
bahwa bahasa bagongan menjadi bagian dari struktur sosial juga masuk dalam tatanan
sosial dalam kehidupan masyarakat khususnya di Karaton Yogyakarta, yang di
dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan
batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang mengacu pada suatu keteraturan
perilaku di dalam masyarakat (Soekanto, 2012; 197). Namun
patut kita sayangkan bahwa keberadaan bahasa bagongan lambat laun cenderung kurang
diminati oleh generasi muda.
Padahal
jika generasi muda mau melestaikan bahasa bagongan tentu berbagai manfaat dapat
dirasakan misalnya dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
khususnya menambah wacana edukatif tentang kearifan
lokal budaya masyarakat Jawa khususnya
yang ada di lingkungan Karaton Yogyakarta. Dapat
menumbuhkan sikap menghargai dan melestarikan kebudayaan Jawa khusunya
bahasa Bagongan yang semakin hari
semakin sedikit para penuturnya. Mengingat
belum adanya penelitian
komprehensif yang mengungkap tentang perkembangan bahasa Bagongan dan belum adanya media untuk mereaktualisasikan bahasa
Bagongan dalam bentuk digitalisasi. Maka
harapam agar segera dilakukannnya penelitian yang mendalam dan reaktualisasi bahasa
bagongan akan mampu menyelamatkan bahasa bagongan dari kepunahan.